Di layar Hp saja ada jutaan warna di antara hitam dan putih”,ucap seorang pendeta.
“… jadi mengapa memperlakukan hidup,
seolah-olah hanya ada abu-abu di antara hitam dan putih?”
“Harta atau nyawa!”
Gertakan di atas seperti menjadi slogan favorit media untuk menggambarkan sosok perampok di tahun 80-an. Sang korban disodorkan dengan sebuah pilihan either – or; pilih ini atau itu.
Ungkapan tersebut sebenarnya merupakan sebuah retorik, karena sebenarnya tidak ada pilihan yang disodorkan.
Jika anda pilih harta, maka nyawa melayang. Apalah arti harta jika anda sudah tak bernyawa? Sementara memilih hidup, berarti anda harus menyerahkan harta. Inilah satu-satunya pesan yang ingin disampaikan.
Sebuah fait accompli terselubung.
“… atau!”
Di tengah tekanan pilihan semu di atas, kemudian tercetuslah jawaban usil “…atau!”
Atau menjadi simbol perlawanan terhadap kungkungan pilihan yang manipulatif.
Atau menyatakan tersedianya pilihan seluas imajinasi manusia
Atau menggambarkan kompleksitas manusia tidaklah sesempit pilihan hidup-mati.
Ada jutaan warna diantara keduanya. Ada jutaan atau sebagai ekspresi kehidupan. (Layar Hp aja bisa, masa manusia kagak?)
———————————————————-
Tulisan di atas sebetulnya dibuat beberapa hari sebelum peristiwa penganiayaan terhadap anggota jemaat HKBP Ciketing, namun ketika merefleksikan berbagai pernyataan yang dibuat oleh beberapa pihak terkait insiden tersebut, sepertinya menjadi relevan untuk mecerminkan creative force mereka yang teraniaya, karena dalam diri merekalah tercermin sikap sang “…atau”
Ketika…
“penegak hukum” justru mengatakan: Jemaat HKBP membandel,
http://megapolitan.kompas.com/read/2010/09/13/10142357/Kapolres.Bekasi:.Jemaat.HKBP.Membandel
Ketika…
mereka diminta untuk “tidak beribadah yang memancing amarah orang lain …”,
http://megapolitan.kompas.com/read/2010/09/13/15383991/KUI:.Silakan.Beribadah.di.Tempat
Ketika…
semua “tahu-sama tahu” bahwa mendapatkan izin itu hal yang “mustahil”,
http://megapolitan.kompas.com/read/2010/09/13/13572157/HKBP.Ciketing..Soal.Mayoritas.Minoritas
Ketika…
semua statement mawas diri
dan opsi solusi
ternyata menjadi pilihan yang manipulatif
sekadar tawaran “harta atau nyawa”
Dapatkah anda menyalahkan sang “…atau“?
Bandung,
13 September 2010.
Minor and mayor
pentingkah tolak ukur untuk selalu dalam penilaian lebih.sedangkan dalam beragama bisakah kita menilai? Siapa yang lebih beriman,seharusnya yang patut dipertimbangkan adalah bagaimana kita sudahkah melaksanakan ataukah belum apa yang menjadi kehendakNYA.bukan kehendak kita ataupun pemuka agama yang merasa minoritas harus tuduk kepada yang mayoritas .sedangkan pernahkah Tuhan mengukur ataupun mewajibkan agama tertentu pada kita ? Dan pernahkah Tuhan menyatakan bahwa minoritas harus mengikuti mayoritas ?perlu menjadi bahan pertimbangan kita