Membangunkan Pancasila

Mati suri. Begitulah kondisi Pancasila saat ini. Bagaimana tidak, saat ini Pancasila seakan kehilangan kesaktiannya dan tidak diindahkan lagi oleh sebagian kalangan. Indikasinya sudah jelas: gaya hidup konsumtif dan koruptif merajalela, gerakan disintegrasi dimana-mana, pluralisme kian terancam dan demokrasi ternoda oleh kepentingan elit penguasa. Bahkan, segelintir orang berusaha mengganti dasar negara kita dengan paham-paham yang bertolak belakang dengan Pancasila. Disadari atau tidak, kini Pancasila tidak lebih dari sekadar ideologi yang jauh dari kenyataan. Meminjam istilah Pak Habibie dalam pidatonya pada hari kelahiran Pancasila 1 Juni 2011 yang lalu, saat ini Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi di tengah kehidupan bangsa yang semakin hiruk-pikuk oleh politik. Pancasila seolah lenyap.

Namun, jangan keburu pesimis. Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS), dari 12.000 responden, 79,26 persen memandang Pancasila penting dipertahankan dan 89 persen menyatakan bahwa permasalahan bangsa disebabkan oleh kurangnya pemahaman terhadap nilai-nilai Pancasila. Menanggapi hasil survei BPS tersebut, agaknya kita patut bersyukur. Di tengah kondisi bangsa yang semakin pelik, sebagian besar masyarakat kita masih tetap optimis dan memandang penting Pancasila sebagai dasar di dalam membentuk tatanan kehidupan berbangsa yang lebih baik.

Pentingnya Pancasila memang sudah tidak perlu diragukan lagi mengingat di atas fondasi inilah Indonesia didirikan dan mesti terus dibangun. 66 tahun yang lalu, tepatnya pada 1 Juni 1945, Bung Karno melemparkan gagasan mengenai di atas ideologi apa Indonesia merdeka akan didirikan. Jika rakyat Tiongkok memiliki “San Min Chu I” yang telah dipikirkan dan dirancang oleh Sun Yat Sen jauh sebelum negeri itu merdeka, maka Bung Karno pun punya satu weltanschauung yang sejak 1918 telah melandasi semangat perjuangannya, yaitu “semua untuk semua” – bahwa negara ini didirikan bukan untuk satu orang ataupun satu golongan, tetapi negara ini adalah negara gotong royong, untuk semua. Weltanschauung inilah yang dilemparkan oleh Bung Karno kepada khalayak luas pada saat itu, yang kemudian beliau jabarkan pula menjadi lima prinsip dasar yaitu: kebangsaan, internasionalisme atau peri-kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang berkebudayaan, yang berbudi pekerti luhur dan saling menghormati. Ketuhanan Yang Maha Esa.

Itulah Pancasila, ideologi luhur yang lahir bukan sebagai hasil latah mengikuti ideologi bangsa lain, tetapi sebagai buah pemikiran mandiri yang komprehensif berdasarkan perjuangan kolektif bangsa menuju kemerdekaan. Pancasila tidak ada duanya di dunia. Unik, namun tetap menjamin ke-bhinneka-an Indonesia berada pada tataran kehidupan yang harmonis dan rukun.

Sayangnya, saat ini Pancasila hanyalah hafalan semata. Lancar di mulut, tapi gagu dalam tindakan. Menjadi teori yang hanya melekat di kepala, tapi bukan prinsip hidup yang melekat di jiwa. Tidak sulit untuk membuktikannya. Kita bisa menyaksikan era globalisasi yang sangat kompetitif tak jarang telah memaksa manusia menganut hukum “eat or be eaten”, sehingga mereka menjadi egois, individualis dan tak jarang menghalalkan segala cara untuk bisa survive. Kemudian, tingginya angka korupsi dan lemahnya hukum di negara kita menjadi indikasi yang tak terelakan lagi. Kondisi hidup di jaman modern ini membungkam nilai-nilai Pancasila, yang akhirnya berujung pada terkikisnya idealisme dan mekarnya apatisme. Lemahnya tingkat penjiwaan bangsa terhadap falsafah hidup bangsa ini juga menyebabkan tindakan-tindakan intoleran antar pengikut agama serta gerakan-gerakan separatis dan terorisme.

Membangunkan Pancasila dari mati surinya bukanlah perkara mudah, diperlukan tekad dan daya juang serta kesadaran kolektif. Salah satu instrumennya adalah pendidikan. Menurut hasil survei BPS yang sama, mayoritas responden (30 persen) memandang sosialisasi melalui pendidikan menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan pemahaman nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan. Tapi tampaknya sosialisasi melalui pendidikan seperti yang telah berjalan selama ini tidaklah cukup.

Perlu diakui bahwa metode pendidikan Pancasila memang belum efektif di dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam sikap siswa sehari-hari. Bukankah budaya menyontek lebih populer di kalangan siswa dibandingkan untuk bersikap jujur dalam ujian? Belum lagi tawuran dan lain sebagainya. Dengan metode yang selama ini digunakan di sekolah-sekolah, pendidikan Pancasila tak ayal menjadi pelajaran yang membosankan dan dipandang tidak lebih dari pelajaran teori yang menekankan aspek kognitif semata, tapi tidak dibarengi dengan pengamalan riil dan keteladanan. Oleh karena itu, diperlukan revitalisasi sistem pendidikan Pancasila dengan menerapkan metode baru yang lebih menarik, aplikatif dan inovatif. Revitalisasi tersebut harus pula dibarengi dengan keteladanan oleh para pejabat pemerintahan dan penegak hukum dalam kehidupan politik dan hukum.

Penanaman nilai-nilai Pancasila akan lebih efektif jika dimulai sejak dini dari komunitas terkecil, yaitu keluarga. Di sinilah seseorang pertama kali dibesarkan dan mengenal nilai-nilai kehidupan. Jika penanaman nilai-nilai yang relevan dengan Pancasila dilakukan sejak dini dan terus dibiasakan melalui lingkungan keluarga melalui perilaku-perilaku sederhana, maka nilai tersebut akan menjadi idealisme dan prinsip yang terpatri kuat dan tidak akan mudah terbawa arus. Dalam hal ini, ada tiga hal yang mutlak diperlukan dari orang tua, yaitu: teladan, perhatian dan bimbingan. Teladan penting karena di usia dini seorang anak belajar dengan meniru apa yang dilihatnya dari ayah dan ibu mereka. Perhatian harus cukup karena jika tidak mendapatkannya di rumah, seorang anak akan mencari tempat lain di luar untuk mendapatkan perhatian. Bimbingan berupa teguran maupun pujian diperlukan untuk menjaga seorang anak tetap berada di jalur yang benar.

Akhirnya, kembali lagi ke prinsip “semua untuk semua”. Menjadi tanggung jawab kita semua, manusia Indonesia, untuk menjunjung luhur Pancasila, memahami, sekaligus mengamalkannya agar dapat hidup berdampingan, bahu membahu membangun negeri. Oleh karena itu, kita perlu memahami pendidikan Pancasila secara komprehensif, tidak hanya sebagai materi yang diajarkan di sekolah, tetapi juga setiap tutur kata, pemikiran, dan tingkah laku kita menjadi media pendidikan Pancasila bagi orang-orang di sekitar kita, di keluarga, sekolah, kampus, dunia kerja, di manapun kita berada. Pancasila sedang menunggu untuk dibangunkan. Maukah kita berusaha membangunkannya? Ataukah kita akan membiarkannya mati? Perubahan besar dimulai dari diri sendiri.

(Oleh: Jeffrey Kurniawan, artikel ini sudah diterbitkan di fokal.info)

Leave a comment

Blog at WordPress.com.

Up ↑